Kamu dan Mamahmu
Ulfa Juliarti
Gemericik
suara hujan ditambah dengan tiupan angin yang menggoyangkan daunan, bagaikan
lagu merdu yang menghipnotis diri ini untuk semakin terlelap. “TOK.. TOK..
TOK..”. Antara sadar dan tidak, aku seperti mendengar ketukan di pintu. TOK,
TOK, TOK!. Lalu sebuah suara berteriak. “Reni… bangun!”. Suara cempreng yang
memekakan telinga itu berhasil membuat tidur cantik ku terganggu. “Iya aku
bangun!” ucapku dengan suara yang tak kalah kencangnya. “Kalau gitu, buka
pintunya donk, kamu tega liat aku berdiri lama di depan pintu kamar kayak
patung” teriak heni dengan nada memelas.
Akhirnya
kupaksakan tubuh ini untuk beranjak meninggalkan kasur empuk yang begitu
nyamannya. Sambil berjalan sempoyongan, kubuka pintu dan kulihat Heni, sahabat
dekatku berdiri dengan rambut yang dikuncir tinggi dan muka masam yang
melihatku dengan tatapan heran.
“maaf deh, kamukan
tau kalau aku udah tidur bakal…” belum sempat melanjutkannya Heni mendorong ku
masuk kamar kembali dan menuju ke kamar mandi. “iya aku tau kamu itu susah
dibangunin dan aku juga tau kalau kamu mandinya cepet. Lebih cepet dari kerbau
yang mandi di lumpur, jadi nggak masalah!” celoteh heni sambil ketawa
cekikikan. “ah, apa sih hen” gerutku di dalam kamar mandi.
“maaf deh, kamu
Tak lama,
sekitar 01:15 aku pun selesai mandi, memang benar kata Heni. Kubuka pintu kamar
mandi, kulihat heni berdiri sambil memegang baju dan celana jeans lengkap
dengan embel-embel yang lain, dilemparkanya semua hampir mengenai mukaku. “kamu
perhatian banget hen, lebih dari bibi gue” kataku sambil menahan tawa. “udah
deh, aku tunggu kamu di teras, kalau kamu gak selesai dalam waktu 1 menit, aku
tinggal” celotehnya sambil berlalu meninggalkan kamar.
Aku pun
selesai dan bergegas turun dari kamar, dan kulihat mama yang sedang sibuk
bergulat dengan komputernya “ma reni pergi dulu ya”. “makan dulu ren” ucap
mama. “gak deh ma, kasian heni udah nugguin lama” ku cium pipinya dan segera
berlari masuk ke dalam mobil yang di dalamnya heni, yang sudah siap membawa
pergi mobilnya untuk menuju rumah evi untuk menulis tinjauan kepustakaan. “asik
kita ke rumah Evi lagi!” teriak heni kegirangan.
Aku
mengerti kenapa heni begitu senang. Rumah evi memang enak banget! maklum, dia
anak gedongan. Di halaman belakangnya ada kolam renang segala. Ruang belajarnya
juga menyatu dengan home theater. Itu sebabnya Heni begitu senang, aku juga
begitu senang karena aku teringat koleksi film di rumah evi. Seperti aku,
ternyata evi itu penggemar film juga! Banyak sekali tumpukan leser discnya yang
bisa kubongkar dan kupinjam. Evi juga tak melarang kedatangan kami yang
terkesan memaksa itu, karena dia senang sekali kalau dikunjungi orang.
Tak terasa
mobil yang dari tadi melaju berhenti di dalam halaman luas yang dikelilingi
bunga-bunga cantik yang tertata dengan rapinya, namun begitu menginjakan kaki
di depan pintu rumahnya, barulah aku menyesali kedatanganku ke rumah evi,
karena aku langsung diingatkan pada alasan kenapa aku jarang berkunjung ke
rumah evi. Di depan pintu rumahnya, mamanya evi sudah berdiri menyambut
kedatangan kami dengan senyum sumringan. Sasak rambutnya yang tinggi nyaris
menyentuh plafon rumah. Bentuknya yang mirip gula kapas warna-warni yang biasa
dijual di taman ria. “Hai, cantik. Ooh kamu bawa temen kamu? komin!”. Seperti
anaknya, mamanya evi juga hobi banget sok berbahasa inggris tapi salah-salah.
Dia ini ibu penjabat, makanya hobi banget nyasak rambut setinggi menara Eiffel.
Kan katanya
semakin tinggi rambut seorang ibu penjabat, akan semakin disegani. Konon,
mamanya evi ini pernah kesentrum gara-gara sasaknya sampai nyentuh kabel lampu
di langit-langit.
Waktu kami
sudah nogkrong di ruang belajar alias home theaternya, evi nyeletuk “Rin, kamu kan suka film kartun.
Aku punya disc baru loh. Judulnya ‘Gi Zu’ ”. Aku pun bingung. You know.
Perasaan aku hafal mati semua film animasi, tapi baru kali ini aku dengar film
yang judulnya ‘Gi Zu’. Apa itu mungkin film animasi Jepang yang belum kudengar?
pikirku, berprasangka baik. Aku pun segera bertanya, “Film apaan tuh, Gi Zu?”.
“Ini lhooo!” sahut evi sambil mengacukan sebuah laser disk. Di covernya,
tertulis gede-gede, “G.I. JOE.”. Aku langsung pusing mendadak. “Eviiiii!”
lengkingku kesal. “Itu bacaanya Ji-Ai-Jo! bukan Gi Zu!”. “Oh, gitu ya? jiyayo?
Kok kaya bahasa Jepang ya, bukan Inggris? Kamu yakin bacaanya begitu Ren?”
sahut Evi kalem, bikin aku langsung gigit-gigit kuku karena gregetan.
Tiba-tiba
mamanya Evi nongol lagi di ruangan belajar itu dengan suaranya memanggil
melengking mendayu-dayu beserta bibirnya yang ditarik ke belakang, khas ibu-ibu
pejabat lagi ngomong, “Evi sayaaang, kamu ada liat kemeja papa nggak? Yang
mereknya Dispenser. Kemana ya tuh kemeja?”. Merek DISPENSER? pikirku dengan
mata berkunang-kunang. Heni sudah cekikikan di sebelahku. Evi menyahut dengan
mulut mengerunyut. “Mamah ini bikin malu Evi ih! Marks and Spencer, Mamah!
Bukan merek Dispenser!”. “Nah, iya itu. Mana?”. Aku berbisik ke Heni, “Tumben
sekali ini Evi bener,” Heni semakin cekikikan. Evi tampaknya tidak mendengar
kami. “Ada di
lemari Mah. Kayaknya si Inah salah taro bajunya.” sahut Evi menyalahkan pembantunya.
“Kayaknya gaya
bicara mereka ini turunan ya,” bisikku lagi. “Aku masih takjub si Evi
bisa-bisanya ngomong Inggris yang bener “Harus kita catat nih Ren. Peristiwa
bersejarah nih” jawab Heni. “Tapi, pasti nggak akan lama Liat aja!” kataku.
Evi pun kembali
ke meja kami. “Aku tuh, suka senewen liat mamah,” curhatnya. “Dia maksa aku
jadi dokter, padahal mamah tau kalau aku ini bodo minta ampun! Ironing ya?”.
“Ironis kali Vi,” sahutku sambil melirik pada Heni seraya tersenyum geli. Tuh kan !. Syukurnya, si Evi
itu kurang sensitif orangnya, jadi celetukanku itu tidak membuatnya sakit hati.
Selagi kami asyik berdiskusi sambil menulis, tiba-tiba mamanya Evi muncul lagi.
Sasak rambutnya kayaknya habis diperbaharui lagi sehingga terlihat semakin
megar. Kalau singa Paddle-pop berhalangan hadir, mamanya dapat menggantikannya.
Kali ini, ia berteriak ke PRT (pembantu rumah tangga) mereka sambil memegang
kardus keci. “Inaaaaah! Taliban mana?”. Kembali aku dan Heni ternganga. Apa
kuping kami tak salah dengar? Ngapain mamanya Evi minta Taliban. “Taliban, bu?”
Inah muncul sambil garuk-garuk kepala. Aku memandang iba ke Inah. Kasian dia,
harus menghadapi dua majikannya yang penuh teka-teki ini. “Itu lhooo, yang
untuk nutup dan nempelin kardus ini!” jelas mamanya Hani. “Oh, lakban Bu?”.
“Nah iya itu! Mana?”. Aku berdoa dalam hati, Ya Tuhan, kuatkanlah hati Inah
agar dia betah bekerja di sini. Keluarga ini butuh orang seperti Inah yang
pintar untuk menuntun mereka dari kegelapan.”
Unsur Intrinsik :
1. Tema : Kasih
Sayang seorang Ibu, Persahabatan.
2. Alur : Alur Maju
3. Penokohan :
- Protagonis :
- Reni (Aku) : Penyabar, Ramah, Peduli terhadap teman. bukti: Kubuka pintu kamar mandi, kulihat heni berdiri sambil memegang baju dan celana jeans lengkap dengan embel-embel yang lain, dilemparkanya semua hampir mengenai mukaku. “kamu perhatian banget hen, lebih dari bibi gue” kataku sambil menahan tawa.
- Evi : Ramah terhadap orang lain. bukti : Evi juga tak melarang kedatangan kami yang terkesan memaksa itu, karena dia senang sekali kalau dikunjungi orang.
- Antagonis :
- Tritagonis :
4. Latar :
- Tempat : Kamar Reni, Ruang komputer, Rumah Evi, Home Theater.
- Waktu : Siang hari
- Suasana : Menyenangkan, Menggelikan.
5. Sudut Pandang : Orang pertama pelaku utama.
6. Gaya Bahasa : Bahasa sehari-hari.
7. Amanat : Hargailah setiap perbedaan sudut orang masing-masing.
Unsur Ekstrinsik :
1. Sosial : Kehidupan mewah sehari-hari.
2. Ekonomi : Perekonomian yang memadai.
3. Budaya : Budaya modern.
-GAN-
XII IPA 1
18.
0 komentar:
Posting Komentar