SUATU SORE DIKALA HUJAN
"Kumohon...."
Dunia di sekitarnya menggelap. Andrew berlutut dengan Reyna terbaring di
hadapannya, mata terpejam dan genangan merah yang tercampur hujan terbentuk di
sekitar tubuhnya. Lidah Andrew kaku, ia hampir tak sanggup menyelesaikan
ucapannya. Namun lebih dari segalanya, ia tak sanggup kehilangan Reyna.
Sosok
berjubah hitam itu berdiri tanpa menapak tanah. Hujan sama sekali tidak
membasahinya ataupun sabit raksasa yang digenggamnya. Rupa tengkorak dengan
mata yang kosong mengintip dari tudung kepalanya yang terpasang.
Ingatan
dari beberapa menit yang lalu berkelebat dalam kepala Andrew, berputar dalam
potongan gambar yang berlompatan.
Reyna
menyukai alam, yang menjadi alasan mengapa mereka suka berhenti sejenak di
pinggir jalan saat berkendara hanya untuk menikmati keindahan yang alam
berikan. Awalnya Andrew menganggap bahwa itu adalah sebuah kebiasaan yang aneh,
namun ia tak mempermasalahkannya, selama bisa melihat wajah tersenyum Reyna
yang dibingkai rambut merahnya.
Reyna
berkata, bahwa selalu ada hal yang spesial dari pepohonan untuknya. Mereka
berbicara padanya, menyampaikan pesan dan menceritakan suatu kisah. Andrew
bukan orang yang sangat imajinatif, dan pasti akan menanggap hal semacam itu
omong kosong jika saja bukan Reyna yang mengatakannya. Namun kali ini, tanpa
memaksa dirinya sendiri, ia dengan terkejut mampu menerima kata-kata itu.
Reyna
berbeda, ia memang unik. Caranya memandang dunia berbeda dengan orang-orang di
sekitarnya. Ia bisa melihat apa yang orang lain tidak bisa lihat, dan ia
mengajak Andrew bersamanya, menuntunnya ke sebuah dunia ajaib yang sebelumnya
tak pernah ia sadari ada.
Sebelum
mengenal Reyna, kapan Andrew pernah benar-benar sadar terhadap
keajaiban-keajaiban kecil di sekitarnya? Ia tak pernah sadar, akan keindahan
daun-daun jingga yang berguguran, yang meliuk di udara menggantikan hujan. Atau
keanggunan pegunungan yang dilapisi salju putih serupa gula dan sungai-sungai
keperakan yang mengalir di dasar fjord.
Ia tak pernah sadar, akan hal-hal kecil dan remeh, namun sebenarnya memiliki arti tak terhingga yang selama ini dilewatkan olehnya. Reyna membuatnya membuka mata dan telinga, pada melodi deburan ombak, ritme tetesan hujan, embun pagi yang terkumpul di daun, dan hal-hal yang kecil namun indah lainnya. Andrew rasanya mampu bahagia hanya dengan membuka jendela kamarnya di pagi hari untuk mendengarkan kicauan burung bernyanyi untuknya.
Ia tak pernah sadar, akan hal-hal kecil dan remeh, namun sebenarnya memiliki arti tak terhingga yang selama ini dilewatkan olehnya. Reyna membuatnya membuka mata dan telinga, pada melodi deburan ombak, ritme tetesan hujan, embun pagi yang terkumpul di daun, dan hal-hal yang kecil namun indah lainnya. Andrew rasanya mampu bahagia hanya dengan membuka jendela kamarnya di pagi hari untuk mendengarkan kicauan burung bernyanyi untuknya.
Andrew
merasa Reyna telah membantunya menjadi orang yang berkali lipat lebih baik. Yang
lebih sadar, toleran, dan peduli terhadap sesama serta sekitarnya. Reyna adalah
pusat dunianya, yang mengajarkannya bagaimana cara hidup sesungguhnya. Bahagia
bukan hal yang sulit, begitu Reyna selalu berkata padanya.
Ia
tak akan bisa membayangkan hidupnya tanpa Reyna.
Sore
itu mereka memutuskan untuk mengambil rute favorit Reyna yang agak lebih jauh
dan membelah hutan. Jalannnya tidak lebar, dan salah satu sisinya berada persis
di tepi lembah yang curam. Andrew sebenarnya lebih suka menghindari jalur itu,
namun ia tahu Reyna suka pemandangannya.
Sepanjang
perjalanan mereka mengobrol dan tertawa seperti biasa. Lagu-lagu kuno tiga
puluh tahun yang lalu diputar di saluran yang ditangkap oleh radio mobil,
melantunkan melodi hangat yang mewarnai sore mereka dengan nostalgia.
Belum
ada setengah jam mereka berkendara ketika hujan mulai turun. Ketika titik air
pertama hinggap di kaca mobil, firasat buruk mulai merayapi dada Andrew. Tidak
ada yang salah, namun ia tidak bisa menahan dirinya sendiri dari berpikir bahwa
akan ada suatu hal buruk yang terjadi.
Tepat
setelah ia berpikir begitu, kekhawatirannya terbukti. Entah bagaimana roda
mobil menghantam sesuatu dan mereka tergelincir menuju lembah.
Reyna
memekik. Andrew memejamkan mata. Entah mereka terguling atau hanya berzig-zag
di antara pepohonan; ia tak bisa lagi mengendalikan laju mobilnya. Terdengar
suara berdentum seakan-akan ada yang melangkah di atap mobil, disusul dengan
suara sesemakan yang tercerabut. Kemudian bunyi tabrakan, dan Andrew merasakan
tekanan keras di tubuhnya. Lalu segalanya berhenti, kecuali suara hujan yang
semakin deras.
Andrew
bisa merasakan sesuatu yang cair dan hangat bergerak menuruni dahinya, dan ia
tahu bahwa itu adalah darahnya sendiri.
"Reyna...?"
Ia
lalu memanggil pelan, namun suara lembut yang ditunggu-tunggunya itu tidak
kunjung menyahut. Nyeri memeluknya, seluruh tubuhnya protes saat ia berusaha
bergerak. Matanya berputar, namun ia tetap berusaha melihat. Andrew menoleh ke
kursi penumpang, dan napasnya tercekat. Nyeri yang ia rasakan di seluruh
tubuhnya kini berpusat di dadanya, berubah menjadi ribuan jarum-jarum kecil
yang menembus dagingnya.
Andrew
tidak lagi berpikir. Ia tidak tahu bagaimana dirinya berhasil membuka pintu
yang telah penyok, lalu merangkak keluar dari mobil yang setengah hancur itu.
Ia tidak tahu dari mana ia mendapatkan kekuatan untuk bergerak, atau apa yang
membuatnya masih bernapas ketika tubuhnya merangkak di rerumputan yang basah,
mengitari mobil dan membuka pintu penumpang. Ia tidak tahu bagaimana tangannya
yang penuh memar mengangkat Reyna dan mengeluarkannya dari mobil.
Dingin
hujan menggigit kulitnya, perih menyeruak di lukanya. Tapi ketika melihat
Reyna, semua itu menjadi tak lebih sakit dari gigitan semut. Kedua matanya
tertutup, namun ia masih bernapas dengan lemah.
Andrew
berusaha mencari jalan keluar, namun otaknya membeku. Tidak pernah ia merasa
sepanik ini dalam hidupnya. Ia mengutuk dirinya sendiri, memaki dan berteriak
dalam hati. Kenapa justru di saat seperti ini, tubuhnya mematung? Kenapa justru
di saat seperti ini, ia tidak bisa melakukan apa-apa?!
Saat
itulah, ia merasakan kehadiran sosok yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Pertama,
yang Andrew rasakan hanyalah dingin-lebih dingin dari apa pun.
Lalu, Andrew melihatnya mewujud dari ketiadaan. Waktu seakan melambat saat itu,
Andrew bisa melihat jelas dan merekam segalanya dengan mata. Dunia menggelap,
kemudian semakin pekat hingga menjadi hitam, dan ia,
dengan jubahnya yang sewarna batu bara, muncul di hadapannya dan Reyna. Detik
itu pun, Andrew sudah tahu apa yang dilihatnya.
Ia
sedang menatap perwujudan maut.
Sosok
itu tidak bergerak. Jubahnya bagai terbuat dari asap, membuat siluetnya
berdenyar dan ujung-ujung bayangannya melambai seperti tangan-tangan yang
kelaparan.
Kemudian,
sosok itu bergerak perlahan. Bilah sabit raksasa yang tergenggam di tangannya
terlihat berkilau saat ia mendekati mereka. Andrew sudah tahu apa tujuannya,
dan ia tak akan sanggup menghentikannya. Maka yang bisa dilakukannya hanyalah
memohon, berharap segera terbangun dari mimpi buruk ini.
Ia
tak pernah merasa begitu takut. Bukan pada sosok itu-jika ia mau, Maut boleh
mengambil nyawanya kapan pun ia suka. Tapi tolong-jangan, jangan
Reyna. Andrew takut kehilangan dirinya. Ia sangat takut. Ia membungkuk dan
mendekap Reyna dalam pangkuannya.
Andrew
menengadah.
Maut
telah berada di hadapan mereka; sosoknya menjulang tinggi menutupi langit sore.
Maut
mengangkat sabitnya perlahan, siap mengayun, dan Andrew berteriak sekeras-kerasnya.
Suaranya pecah mengalahkan bunyi hujan. "Tunggu! Tolong, jangan! Jangan
ambil Reyna! Kau boleh mengambil nyawaku sekarang, tapi jangan dia! Jangan
dia!"
Seakan-akan
tidak mendengar, sosok itu tidak menghentikan gerakannya. Andrew berteriak
lagi, hingga tenggorokannya panas dan paru-parunya serasa ingin meledak,
"TIDAK, JANGAN! AKU AKAN MELAKUKAN APA PUN ASALKAN REYNA SELAMAT! KAU
TIDAK BISA MENGAMBILNYA SEKARANG! AKU MASIH INGIN DIA HIDUP, AKU MASIH INGIN
REYNA DI SINI. AKU MASIH INGIN MEMILIKINYA, AKU MASIH INGIN MEMILIKINYA DI SINIII!"
Sabit
itu berhenti di udara.
Andrew
menatapnya, napasnya memburu. Gerakannya berhenti, apakah itu berarti ia bisa
mendengar Andrew? Apakah ia sedang mempertimbangkan ucapan Andrew? Apakah ia
akan membiarkan Reyna hidup? Yang mana pun, Andrew hanya berharap kalau Reyna
selamat-tidak peduli bagaimana caranya, bahkan jika ia harus menukarnya dengan
nyawanya sendiri. Tubuhnya gemetar dan suaranya bergetar, tapi ia terus bicara,
"Kau bisa mendengarku, kan ?
Tolong jangan ambil Reyna. Aku bersedia menggantikannya jika memang harus. Tapi
tolong jangan ambil dia. Aku mencintainya, aku ingin Reyna ada di
sini. Aku masih ingin memilikinya, aku-"
"Sayangnya," suara Maut berdengung di dalam kepalanya meski mulutnya tidak
bergerak, dan Andrew seketika tercekat, "ia memang bukanlah milikmu sejak awal."
Kali
ini, tubuh Andrew benar-benar tidak bisa digerakkan meski ia sudah memaksa
sekeras yang ia bisa. Napasnya berhenti. Mulutnya kaku. Teriakannya tertahan.
Sekali lagi, ia menyaksikan segalanya dengan sangat lambat. Andrew bisa melihat
setiap pergerakan dalam milidetik, setiap tetesan hujan yang berpacu dengan
deburan jantung, dan setiap denyar asap yang melecut dari sosok Maut. Namun ia
dan Maut berada dalam kecepatan serta keberadaan yang berbeda, dan semua itu
hanya bisa disaksikannya; tanpa gerakan, tanpa teriakan.
Dan
Andrew tidak bisa melakukan apa-apa saat sabit itu turun ke bawah,
menyelesaikan gerakannya.
(oleh
Alliya Riva , http://www.kawankumagz.com/read/suatu-sore-di-kala-hujan )
UNSUR INTRINSIK
1. Tema :
Percintaan
2. Alur :
Gabungan (Alur maju-mundur)
3. Penokohan :
²
Andrew : Penyayang, Setia
²
Reyna : Imajinatif, Pencinta Alam
4. Setting :
Ø
Tempat : Mobil, Lembah, Hutan
Ø
Waktu : Pagi, dan sore hari
Ø
Suasana : Menegangkan, mengharukan
5. Sudut pandang : orang ke tiga
6. Amanat :
Sebaiknya mengutamakan keselamatan disaat mengendarai mobil dengan memilih
jalan yang baik.
UNSUR EKSTRINSIK
1.
Latar Belakang pengarang : -
2.
Nilai yang terkandung :
²
Nilai Moral :
²
Nilai Keagamaan : Ia sangat takut dengan maut.
²
Nilai Sosial :-
Created by : Caecilia Ayu Larasati /XII IPA1/ 07
0 komentar:
Posting Komentar