Senin, 29 September 2014

Cerpen "Humor Ibu dan Anak"

0

Kamu dan Mamahmu
 Ulfa Juliarti
Gemericik suara hujan ditambah dengan tiupan angin yang menggoyangkan daunan, bagaikan lagu merdu yang menghipnotis diri ini untuk semakin terlelap. “TOK.. TOK.. TOK..”. Antara sadar dan tidak, aku seperti mendengar ketukan di pintu. TOK, TOK, TOK!. Lalu sebuah suara berteriak. “Reni… bangun!”. Suara cempreng yang memekakan telinga itu berhasil membuat tidur cantik ku terganggu. “Iya aku bangun!” ucapku dengan suara yang tak kalah kencangnya. “Kalau gitu, buka pintunya donk, kamu tega liat aku berdiri lama di depan pintu kamar kayak patung” teriak heni dengan nada memelas.
Akhirnya kupaksakan tubuh ini untuk beranjak meninggalkan kasur empuk yang begitu nyamannya. Sambil berjalan sempoyongan, kubuka pintu dan kulihat Heni, sahabat dekatku berdiri dengan rambut yang dikuncir tinggi dan muka masam yang melihatku dengan tatapan heran.
“maaf deh, kamu kan tau kalau aku udah tidur bakal…” belum sempat melanjutkannya Heni mendorong ku masuk kamar kembali dan menuju ke kamar mandi. “iya aku tau kamu itu susah dibangunin dan aku juga tau kalau kamu mandinya cepet. Lebih cepet dari kerbau yang mandi di lumpur, jadi nggak masalah!” celoteh heni sambil ketawa cekikikan. “ah, apa sih hen” gerutku di dalam kamar mandi.
Tak lama, sekitar 01:15 aku pun selesai mandi, memang benar kata Heni. Kubuka pintu kamar mandi, kulihat heni berdiri sambil memegang baju dan celana jeans lengkap dengan embel-embel yang lain, dilemparkanya semua hampir mengenai mukaku. “kamu perhatian banget hen, lebih dari bibi gue” kataku sambil menahan tawa. “udah deh, aku tunggu kamu di teras, kalau kamu gak selesai dalam waktu 1 menit, aku tinggal” celotehnya sambil berlalu meninggalkan kamar.
Aku pun selesai dan bergegas turun dari kamar, dan kulihat mama yang sedang sibuk bergulat dengan komputernya “ma reni pergi dulu ya”. “makan dulu ren” ucap mama. “gak deh ma, kasian heni udah nugguin lama” ku cium pipinya dan segera berlari masuk ke dalam mobil yang di dalamnya heni, yang sudah siap membawa pergi mobilnya untuk menuju rumah evi untuk menulis tinjauan kepustakaan. “asik kita ke rumah Evi lagi!” teriak heni kegirangan.
Aku mengerti kenapa heni begitu senang. Rumah evi memang enak banget! maklum, dia anak gedongan. Di halaman belakangnya ada kolam renang segala. Ruang belajarnya juga menyatu dengan home theater. Itu sebabnya Heni begitu senang, aku juga begitu senang karena aku teringat koleksi film di rumah evi. Seperti aku, ternyata evi itu penggemar film juga! Banyak sekali tumpukan leser discnya yang bisa kubongkar dan kupinjam. Evi juga tak melarang kedatangan kami yang terkesan memaksa itu, karena dia senang sekali kalau dikunjungi orang.
Tak terasa mobil yang dari tadi melaju berhenti di dalam halaman luas yang dikelilingi bunga-bunga cantik yang tertata dengan rapinya, namun begitu menginjakan kaki di depan pintu rumahnya, barulah aku menyesali kedatanganku ke rumah evi, karena aku langsung diingatkan pada alasan kenapa aku jarang berkunjung ke rumah evi. Di depan pintu rumahnya, mamanya evi sudah berdiri menyambut kedatangan kami dengan senyum sumringan. Sasak rambutnya yang tinggi nyaris menyentuh plafon rumah. Bentuknya yang mirip gula kapas warna-warni yang biasa dijual di taman ria. “Hai, cantik. Ooh kamu bawa temen kamu? komin!”. Seperti anaknya, mamanya evi juga hobi banget sok berbahasa inggris tapi salah-salah. Dia ini ibu penjabat, makanya hobi banget nyasak rambut setinggi menara Eiffel. Kan katanya semakin tinggi rambut seorang ibu penjabat, akan semakin disegani. Konon, mamanya evi ini pernah kesentrum gara-gara sasaknya sampai nyentuh kabel lampu di langit-langit.
Waktu kami sudah nogkrong di ruang belajar alias home theaternya, evi nyeletuk “Rin, kamu kan suka film kartun. Aku punya disc baru loh. Judulnya ‘Gi Zu’ ”. Aku pun bingung. You know. Perasaan aku hafal mati semua film animasi, tapi baru kali ini aku dengar film yang judulnya ‘Gi Zu’. Apa itu mungkin film animasi Jepang yang belum kudengar? pikirku, berprasangka baik. Aku pun segera bertanya, “Film apaan tuh, Gi Zu?”. “Ini lhooo!” sahut evi sambil mengacukan sebuah laser disk. Di covernya, tertulis gede-gede, “G.I. JOE.”. Aku langsung pusing mendadak. “Eviiiii!” lengkingku kesal. “Itu bacaanya Ji-Ai-Jo! bukan Gi Zu!”. “Oh, gitu ya? jiyayo? Kok kaya bahasa Jepang ya, bukan Inggris? Kamu yakin bacaanya begitu Ren?” sahut Evi kalem, bikin aku langsung gigit-gigit kuku karena gregetan.
Tiba-tiba mamanya Evi nongol lagi di ruangan belajar itu dengan suaranya memanggil melengking mendayu-dayu beserta bibirnya yang ditarik ke belakang, khas ibu-ibu pejabat lagi ngomong, “Evi sayaaang, kamu ada liat kemeja papa nggak? Yang mereknya Dispenser. Kemana ya tuh kemeja?”. Merek DISPENSER? pikirku dengan mata berkunang-kunang. Heni sudah cekikikan di sebelahku. Evi menyahut dengan mulut mengerunyut. “Mamah ini bikin malu Evi ih! Marks and Spencer, Mamah! Bukan merek Dispenser!”. “Nah, iya itu. Mana?”. Aku berbisik ke Heni, “Tumben sekali ini Evi bener,” Heni semakin cekikikan. Evi tampaknya tidak mendengar kami. “Ada di lemari Mah. Kayaknya si Inah salah taro bajunya.” sahut Evi menyalahkan pembantunya. “Kayaknya gaya bicara mereka ini turunan ya,” bisikku lagi. “Aku masih takjub si Evi bisa-bisanya ngomong Inggris yang bener “Harus kita catat nih Ren. Peristiwa bersejarah nih” jawab Heni. “Tapi, pasti nggak akan lama Liat aja!” kataku.
Evi pun kembali ke meja kami. “Aku tuh, suka senewen liat mamah,” curhatnya. “Dia maksa aku jadi dokter, padahal mamah tau kalau aku ini bodo minta ampun! Ironing ya?”. “Ironis kali Vi,” sahutku sambil melirik pada Heni seraya tersenyum geli. Tuh kan!. Syukurnya, si Evi itu kurang sensitif orangnya, jadi celetukanku itu tidak membuatnya sakit hati. Selagi kami asyik berdiskusi sambil menulis, tiba-tiba mamanya Evi muncul lagi. Sasak rambutnya kayaknya habis diperbaharui lagi sehingga terlihat semakin megar. Kalau singa Paddle-pop berhalangan hadir, mamanya dapat menggantikannya. Kali ini, ia berteriak ke PRT (pembantu rumah tangga) mereka sambil memegang kardus keci. “Inaaaaah! Taliban mana?”. Kembali aku dan Heni ternganga. Apa kuping kami tak salah dengar? Ngapain mamanya Evi minta Taliban. “Taliban, bu?” Inah muncul sambil garuk-garuk kepala. Aku memandang iba ke Inah. Kasian dia, harus menghadapi dua majikannya yang penuh teka-teki ini. “Itu lhooo, yang untuk nutup dan nempelin kardus ini!” jelas mamanya Hani. “Oh, lakban Bu?”. “Nah iya itu! Mana?”. Aku berdoa dalam hati, Ya Tuhan, kuatkanlah hati Inah agar dia betah bekerja di sini. Keluarga ini butuh orang seperti Inah yang pintar untuk menuntun mereka dari kegelapan.”

Unsur Intrinsik :

1. Tema      :      Kasih Sayang seorang Ibu, Persahabatan.

2. Alur       :      Alur Maju 
3. Penokohan :
  •  Protagonis :

 - Reni (Aku) : Penyabar, Ramah, Peduli terhadap teman. bukti: Kubuka pintu kamar mandi, kulihat heni berdiri sambil memegang baju dan celana jeans lengkap dengan embel-embel yang lain, dilemparkanya semua hampir mengenai mukaku. “kamu perhatian banget hen, lebih dari bibi gue” kataku sambil menahan tawa.
 - Evi : Ramah terhadap orang lain. bukti : Evi juga tak melarang kedatangan kami yang terkesan memaksa itu, karena dia senang sekali kalau dikunjungi orang.
  •  Antagonis :
        - Heni : Hanya ,menyusahkan orang lain. bukti : Aku mengerti kenapa heni begitu senang. Rumah evi memang enak banget! maklum, dia anak gedongan. Di halaman belakangnya ada kolam renang segala. Ruang belajarnya juga menyatu dengan home theater.
  • Tritagonis :
       - Mamanya Evi : Repot,lugu. bukti : Tiba-tiba mamanya Evi nongol lagi di ruangan belajar itu dengan suaranya memanggil melengking mendayu-dayu beserta bibirnya yang ditarik ke belakang.

4. Latar : 
   - Tempat : Kamar Reni, Ruang komputer, Rumah Evi, Home Theater.
   - Waktu : Siang hari 
   - Suasana : Menyenangkan, Menggelikan.
5. Sudut Pandang : Orang pertama pelaku utama.
6. Gaya Bahasa : Bahasa sehari-hari.
7. Amanat : Hargailah setiap perbedaan sudut orang masing-masing.

Unsur Ekstrinsik : 
1. Sosial : Kehidupan mewah sehari-hari.
2. Ekonomi : Perekonomian yang memadai.
3. Budaya : Budaya modern.


-GAN-

XII IPA 1
18.



Cerita Pendek, "Suatu Sore Dikala Hujan"

0

SUATU SORE DIKALA HUJAN

"Kumohon...." Dunia di sekitarnya menggelap. Andrew berlutut dengan Reyna terbaring di hadapannya, mata terpejam dan genangan merah yang tercampur hujan terbentuk di sekitar tubuhnya. Lidah Andrew kaku, ia hampir tak sanggup menyelesaikan ucapannya. Namun lebih dari segalanya, ia tak sanggup kehilangan Reyna.
     Sosok berjubah hitam itu berdiri tanpa menapak tanah. Hujan sama sekali tidak membasahinya ataupun sabit raksasa yang digenggamnya. Rupa tengkorak dengan mata yang kosong mengintip dari tudung kepalanya yang terpasang.
Ingatan dari beberapa menit yang lalu berkelebat dalam kepala Andrew, berputar dalam potongan gambar yang berlompatan.
     Reyna menyukai alam, yang menjadi alasan mengapa mereka suka berhenti sejenak di pinggir jalan saat berkendara hanya untuk menikmati keindahan yang alam berikan. Awalnya Andrew menganggap bahwa itu adalah sebuah kebiasaan yang aneh, namun ia tak mempermasalahkannya, selama bisa melihat wajah tersenyum Reyna yang dibingkai rambut merahnya.
     Reyna berkata, bahwa selalu ada hal yang spesial dari pepohonan untuknya. Mereka berbicara padanya, menyampaikan pesan dan menceritakan suatu kisah. Andrew bukan orang yang sangat imajinatif, dan pasti akan menanggap hal semacam itu omong kosong jika saja bukan Reyna yang mengatakannya. Namun kali ini, tanpa memaksa dirinya sendiri, ia dengan terkejut mampu menerima kata-kata itu.
 Reyna berbeda, ia memang unik. Caranya memandang dunia berbeda dengan orang-orang di sekitarnya. Ia bisa melihat apa yang orang lain tidak bisa lihat, dan ia mengajak Andrew bersamanya, menuntunnya ke sebuah dunia ajaib yang sebelumnya tak pernah ia sadari ada.
 Sebelum mengenal Reyna, kapan Andrew pernah benar-benar sadar terhadap keajaiban-keajaiban kecil di sekitarnya? Ia tak pernah sadar, akan keindahan daun-daun jingga yang berguguran, yang meliuk di udara menggantikan hujan. Atau keanggunan pegunungan yang dilapisi salju putih serupa gula dan sungai-sungai keperakan yang mengalir di dasar fjord.
     Ia tak pernah sadar, akan hal-hal kecil dan remeh, namun sebenarnya memiliki arti tak terhingga yang selama ini dilewatkan olehnya. Reyna membuatnya membuka mata dan telinga, pada melodi deburan ombak, ritme tetesan hujan, embun pagi yang terkumpul di daun, dan hal-hal yang kecil namun indah lainnya. Andrew rasanya mampu bahagia hanya dengan membuka jendela kamarnya di pagi hari untuk mendengarkan kicauan burung bernyanyi untuknya.
     Andrew merasa Reyna telah membantunya menjadi orang yang berkali lipat lebih baik. Yang lebih sadar, toleran, dan peduli terhadap sesama serta sekitarnya. Reyna adalah pusat dunianya, yang mengajarkannya bagaimana cara hidup sesungguhnya. Bahagia bukan hal yang sulit, begitu Reyna selalu berkata padanya.

Ia tak akan bisa membayangkan hidupnya tanpa Reyna.

     Sore itu mereka memutuskan untuk mengambil rute favorit Reyna yang agak lebih jauh dan membelah hutan. Jalannnya tidak lebar, dan salah satu sisinya berada persis di tepi lembah yang curam. Andrew sebenarnya lebih suka menghindari jalur itu, namun ia tahu Reyna suka pemandangannya.
     Sepanjang perjalanan mereka mengobrol dan tertawa seperti biasa. Lagu-lagu kuno tiga puluh tahun yang lalu diputar di saluran yang ditangkap oleh radio mobil, melantunkan melodi hangat yang mewarnai sore mereka dengan nostalgia.
Belum ada setengah jam mereka berkendara ketika hujan mulai turun. Ketika titik air pertama hinggap di kaca mobil, firasat buruk mulai merayapi dada Andrew. Tidak ada yang salah, namun ia tidak bisa menahan dirinya sendiri dari berpikir bahwa akan ada suatu hal buruk yang terjadi.
     Tepat setelah ia berpikir begitu, kekhawatirannya terbukti. Entah bagaimana roda mobil menghantam sesuatu dan mereka tergelincir menuju lembah.
Reyna memekik. Andrew memejamkan mata. Entah mereka terguling atau hanya berzig-zag di antara pepohonan; ia tak bisa lagi mengendalikan laju mobilnya. Terdengar suara berdentum seakan-akan ada yang melangkah di atap mobil, disusul dengan suara sesemakan yang tercerabut. Kemudian bunyi tabrakan, dan Andrew merasakan tekanan keras di tubuhnya. Lalu segalanya berhenti, kecuali suara hujan yang semakin deras.
Andrew bisa merasakan sesuatu yang cair dan hangat bergerak menuruni dahinya, dan ia tahu bahwa itu adalah darahnya sendiri.

 "Reyna...?" 

Ia lalu memanggil pelan, namun suara lembut yang ditunggu-tunggunya itu tidak kunjung menyahut. Nyeri memeluknya, seluruh tubuhnya protes saat ia berusaha bergerak. Matanya berputar, namun ia tetap berusaha melihat. Andrew menoleh ke kursi penumpang, dan napasnya tercekat. Nyeri yang ia rasakan di seluruh tubuhnya kini berpusat di dadanya, berubah menjadi ribuan jarum-jarum kecil yang menembus dagingnya.
     Andrew tidak lagi berpikir. Ia tidak tahu bagaimana dirinya berhasil membuka pintu yang telah penyok, lalu merangkak keluar dari mobil yang setengah hancur itu. Ia tidak tahu dari mana ia mendapatkan kekuatan untuk bergerak, atau apa yang membuatnya masih bernapas ketika tubuhnya merangkak di rerumputan yang basah, mengitari mobil dan membuka pintu penumpang. Ia tidak tahu bagaimana tangannya yang penuh memar mengangkat Reyna dan mengeluarkannya dari mobil.
      Dingin hujan menggigit kulitnya, perih menyeruak di lukanya. Tapi ketika melihat Reyna, semua itu menjadi tak lebih sakit dari gigitan semut. Kedua matanya tertutup, namun ia masih bernapas dengan lemah.
     Andrew berusaha mencari jalan keluar, namun otaknya membeku. Tidak pernah ia merasa sepanik ini dalam hidupnya. Ia mengutuk dirinya sendiri, memaki dan berteriak dalam hati. Kenapa justru di saat seperti ini, tubuhnya mematung? Kenapa justru di saat seperti ini, ia tidak bisa melakukan apa-apa?!
     Saat itulah, ia merasakan kehadiran sosok yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Pertama, yang Andrew rasakan hanyalah dingin-lebih dingin dari apa pun. Lalu, Andrew melihatnya mewujud dari ketiadaan. Waktu seakan melambat saat itu, Andrew bisa melihat jelas dan merekam segalanya dengan mata. Dunia menggelap, kemudian semakin pekat hingga menjadi hitam, dan ia, dengan jubahnya yang sewarna batu bara, muncul di hadapannya dan Reyna. Detik itu pun, Andrew sudah tahu apa yang dilihatnya.
    Ia sedang menatap perwujudan maut.
    Sosok itu tidak bergerak. Jubahnya bagai terbuat dari asap, membuat siluetnya berdenyar dan ujung-ujung bayangannya melambai seperti tangan-tangan yang kelaparan.
Kemudian, sosok itu bergerak perlahan. Bilah sabit raksasa yang tergenggam di tangannya terlihat berkilau saat ia mendekati mereka. Andrew sudah tahu apa tujuannya, dan ia tak akan sanggup menghentikannya. Maka yang bisa dilakukannya hanyalah memohon, berharap segera terbangun dari mimpi buruk ini.
     Ia tak pernah merasa begitu takut. Bukan pada sosok itu-jika ia mau, Maut boleh mengambil nyawanya kapan pun ia suka. Tapi tolong-jangan, jangan Reyna. Andrew takut kehilangan dirinya. Ia sangat takut. Ia membungkuk dan mendekap Reyna dalam pangkuannya.

    Andrew menengadah.

     Maut telah berada di hadapan mereka; sosoknya menjulang tinggi menutupi langit sore.
Maut mengangkat sabitnya perlahan, siap mengayun, dan Andrew berteriak sekeras-kerasnya. Suaranya pecah mengalahkan bunyi hujan. "Tunggu! Tolong, jangan! Jangan ambil Reyna! Kau boleh mengambil nyawaku sekarang, tapi jangan dia! Jangan dia!
Seakan-akan tidak mendengar, sosok itu tidak menghentikan gerakannya. Andrew berteriak lagi, hingga tenggorokannya panas dan paru-parunya serasa ingin meledak, "TIDAK, JANGAN! AKU AKAN MELAKUKAN APA PUN ASALKAN REYNA SELAMAT! KAU TIDAK BISA MENGAMBILNYA SEKARANG! AKU MASIH INGIN DIA HIDUP, AKU MASIH INGIN REYNA DI SINI. AKU MASIH INGIN MEMILIKINYA, AKU MASIH INGIN MEMILIKINYA DI SINIII!"
Sabit itu berhenti di udara.
     Andrew menatapnya, napasnya memburu. Gerakannya berhenti, apakah itu berarti ia bisa mendengar Andrew? Apakah ia sedang mempertimbangkan ucapan Andrew? Apakah ia akan membiarkan Reyna hidup? Yang mana pun, Andrew hanya berharap kalau Reyna selamat-tidak peduli bagaimana caranya, bahkan jika ia harus menukarnya dengan nyawanya sendiri. Tubuhnya gemetar dan suaranya bergetar, tapi ia terus bicara, "Kau bisa mendengarku, kan? Tolong jangan ambil Reyna. Aku bersedia menggantikannya jika memang harus. Tapi tolong jangan ambil dia. Aku mencintainya, aku ingin Reyna ada di sini. Aku masih ingin memilikinya, aku-" 

"Sayangnya," suara Maut berdengung di dalam kepalanya meski mulutnya tidak bergerak, dan Andrew seketika tercekat, "ia memang bukanlah milikmu sejak awal."
Kali ini, tubuh Andrew benar-benar tidak bisa digerakkan meski ia sudah memaksa sekeras yang ia bisa. Napasnya berhenti. Mulutnya kaku. Teriakannya tertahan. Sekali lagi, ia menyaksikan segalanya dengan sangat lambat. Andrew bisa melihat setiap pergerakan dalam milidetik, setiap tetesan hujan yang berpacu dengan deburan jantung, dan setiap denyar asap yang melecut dari sosok Maut. Namun ia dan Maut berada dalam kecepatan serta keberadaan yang berbeda, dan semua itu hanya bisa disaksikannya; tanpa gerakan, tanpa teriakan.
Dan Andrew tidak bisa melakukan apa-apa saat sabit itu turun ke bawah, menyelesaikan gerakannya.

(oleh Alliya Riva , http://www.kawankumagz.com/read/suatu-sore-di-kala-hujan )

UNSUR INTRINSIK
1. Tema          : Percintaan
2. Alur           : Gabungan (Alur maju-mundur)
3. Penokohan  :
²        Andrew   : Penyayang, Setia
²        Reyna     : Imajinatif, Pencinta Alam
4. Setting              :
Ø         Tempat    : Mobil, Lembah, Hutan
Ø         Waktu    : Pagi, dan sore hari
Ø         Suasana   : Menegangkan, mengharukan
5. Sudut pandang   : orang ke tiga
6. Amanat              : Sebaiknya mengutamakan keselamatan disaat mengendarai mobil dengan memilih jalan yang baik.


UNSUR EKSTRINSIK
1.       Latar Belakang pengarang      : -
2.       Nilai yang terkandung            :
²        Nilai Moral            :
²        Nilai Keagamaan    : Ia sangat takut dengan maut.

²        Nilai Sosial            :-


Created by : Caecilia Ayu Larasati /XII IPA1/ 07


Cinta Sedarah oleh Theresa Ester Efrata

0

CINTA SEDARAH

“Nabila”, panggil seseorang dari balik pintu. Itu suara kakakku. Dia masuk ke kamarku dan menghampiriku lalu dia memulukku.
Ada apa kak?”, tanyaku heran.
“Nabila sayang sama kakak kan?”, tanya kakakku. Aku pun mengangguk tanda mengiyakan.
“Nabila mau gak hidup sama kakak?”, tanyanya lagi.
Aku melepaskan pelukannya.
“Maksud Kak Abi apa?”, tanyaku tidak mengerti.
“Nabila sayang kan sama kakak. Kakak juga. Kita hidup berdua saja, tanpa ayah dan bunda. Jika mereka tahu, mereka pasti akan marah. Karena itu kita pergi saja dari rumah ini”
“Tapi kak…”
Dari balik pintu datanglah seseorang. Dia menarik tangan Kak Abi menjauh dariku dan Plaakk! Dia langsung menampar Kak Abi. Dia adalah Ayah.
“Apa maksud kalian ingin hidup bersama?”, tanya Ayah dan terlihat kemarahan di raut wajahnya.
“Ayah tak tahu atau pura-pura tidak tahu. Wanita itu, orang yang aku suka sejak 3 tahun lalu. Wanita itu juga punya perasaan yang sama padaku”, kata Kak Abi sambil menunjuk padaku.
“Apa kau sudah gila!”, Ayah marah dan hampir memukul kakak lagi.
“Ya, aku memang sudah gila. Dan semua ini karena kesalahan Ayah. 18 tahun, aku menjadi anak tunggal. Dan tiba-tiba Ayah membawanya pulang lalu mengatakan dia adik tiriku. Apa Ayah pikir aku bisa terima begitu saja? Ayah tak tahu kita sudah pacaran sebelum Ayah bilang dia adik tiriku”
Mendengar kata-kata Kak Abi, Ayah semakin marah. Ayah memukul Kak Abi tak henti-hentinya. Aku berusaha memisahkan mereka. Pukulan Ayah mengenaiku, aku terjatuh. Ayah membawa Kak Abi keluar kamar, lalu mengunci kamarku. Aku tak bisa keluar, aku berteriak memanggil ayah dan Kak Abi tapi tak ada balasan juga.
Sejak kejadian itu, aku tak pernah lagi bertemu dengan Kak Abi. Dia dimana? Apakah dia baik-baik saja? Aku tak pernah tahu. Ayah tak pernah mengungkit soal Kak Abi, seolah-olah ayah tak pernah memiliki seorang anak bernama Habibi.
Sudah 5 tahun berlalu dan aku masih tak tahu kabar darinya. Terkadang ada rasa penyesalan, seandainya bisa kembali ke masa itu. Aku ingin menghindarinya dan berharap semua ini tak pernah terjadi. Berharap semoga cinta sedarah ini tak pernah terjadi.

Karangan: Riza Aulia Akfiyani


Unsur intrinsic      :

1. Tema                : Percintaan Kakak Beradik

2. Penokohan      :
Kak Abi   : penyayang, pemberontak
       Nabila      : baik, sopan
       Ayah        : pemarah, main tangan
                    
3. Setting             : kamar nabila

4. Alur                  : maju mundur

5. Sudut pandang       : orang pertama sebagai pelaku utama

6. Amanat             : sayangilah sodaramu tetapi bukan mencintainya

7. Gaya bahasa    : mudah dimengerti


Unsur ekstrinsik   :

1.      Latar belakang pengarang   : -----------
2.       Sosial                                     :jangan membangun hubungan percintaan dengan  saudara
3.       Agama                                    : -----------
4.       Sejarah                                   : -----------
5.       Pendidikan                             : nilai sosial   : jangan membangun hubungan percintaan dengan saudara


Oleh       : Theresa Ester Efrata

Cerita Pendek "PERJALANAN TERINDAH" | Maria Christy Rida Putri XII IPA 1

0

Perjalanan Terindah
Di kesunyian, alarm berbunyi. Teralunkan musik merdu, terdengar bersemangat berjudul Sang Pemimpi. Mataku sedikit terbuka, pertanda mimpi indah malam ini telah usai. Jam menunjukkan pukul 03.00. Aku tetap terbaring, bukan berarti malas. Kuhayati setiap lirik musik yang kudengarkan, penuh dengan makna. Aku masih terbaring, kukumpulkan semangatku saat itu. Musik reff terdengar, semangatku semakin berkumpul. Ku terbangun  dan langsung kubuka jendela kamarku. Angin pagi berhembus menyegarkan, walaupun memang masih gelap. Bibir ini berbisik, ucapan do’a tanda syukurku atas dibangunkannya jasad ini dari alam yang tak kukenal. Aku siap melewati hari ini.
            Aku berjalan menuju ruang makan, kulihat ibu telah menyiapkan makan sahur. Hari ini hari senin, sudah menjadi amalan andalan kami untuk berpuasa setiap hari senin dan kamis. Ku tersenyum pada ibu, kuteruskan langkahku untuk membasuh muka, menyegarkan wajah kusutku seusai bangun tidur. Berdua saja kami duduk di depan meja makan, aku dan ibuku.
  “Sudah siapkah semua barangnya, Nak?” tanya ibuku.
                “Tentu saja sudah, Bu. Tinggal berangkat saja”, jawabku.
  “Hati-hati ya kalau sudah di sana. Terus hubungi ibu, takut terjadi apa-apa” ucap ibuku, sedikit khawatir.
  “Tenang saja, Bu. Lily bisa jaga diri kok, insya Allah”, ujarku.
  “Baguslah kalau begitu. Seusai shalat subuh, ayah akan langsung mengantarmu ke stasiun”.
            Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Kulanjutkan membereskan apa saja yang harus ku bawa. Aku mungkin terlalu keasyikan, setelah shalat subuh aku malah terdiam dan merenung. Bersama kesunyian aku membayangkan, mimpiku ternyata bisa terwujud. Dengan keadaan keluarga yang apa adanya, aku bisa kuliah tanpa mengeluarkan biaya sedikitpun. Di dalam lamunanku, aku terkejut.
“Neng!” ucap ayahku dengan kerasnya.
“Iya Ayah?” jawabku kaget.
“Ayo, sudah pukul lima. Nanti terlambat masuk kereta” ucap ayahku cemas.
“Oh, baiklah Ayah”.
Dengan menaiki motor yang begitu khas suaranya, kami mulai berangkat. Ibu tak ikut mengantarku, katanya dia harus menjaga rumah. Lagipula tak bisa bila harus menaiki motor  dengan tiga orang penumpang sambil membawa barang yang cukup banyak, sungguh hal yang mustahil.
“Jaga diri baik-baik, Nak. Banyak berdo’a. Tetap semangat, jangan lupa ibadahnya”, nasehat dari ibuku.
“Baik, Bu. Do’akan saja Lily semoga semuanya bisa barakah bagi kehidupan Lily” ucapku, dengan mata yang cukup berkaca-kaca.
“Iya, Nak. Ibu pasti akan selalu mendo’akanmu. Kalau begitu lekaslah, takut ketinggalan kereta”, ucap ibuku dengan air matanya yang menetes.
“Kalau begitu kami berangkat dulu, Bu. Assalamu’alaikum”, ucap ayahku.
“Wa’alaikumsalam”, jawab ibuku.
Aku pun bersalaman dengan ibu, begitupun ayah. Air mata membasahi pipi ibu. Aku mengerti, memang seperti itulah perasaan seorang ibu. Air mataku pun ikut terjatuh, hatiku luluh. Segera ku bergegas menaiki motor sambil menghapuskan air mataku. Begitu dinginnya subuh itu. Namun untungnya aku tetap merasakan kehangatan, dari jaket pemberian ibuku dan dari hangatnya punggung ayahku.
Kereta beberapa menit lagi berangkat. Aku berlari dengan kencangnya bersama ayahku, membawa barang yang cukup berat. Tepat di depan pintu kereta aku berdiri.
“Hati-hati ya Nak. Kalau ada apa-apa hubungi ayah atau ibu. Banyak berdo’a di jalan. Musafir do’anya sangat mustajab. Kabari ayah kalau sudah sampai”. ucap ayahku dengan lembutnya.
“Baik, Ayah. Doakan Lily ya”, ucapku tersenyum, namun dengan air mata yang menetes.
Ayah mengangguk. Aku masih tetap tersenyum. Tepat saat itu, kereta mulai berjalan. Aku pun masuk, kucari tempat duduk yang masih kosong, tepat di pinggir jendela. Kulihat ayahku masih berdiri, menunggu keberangkatan kereta hingga sampai jauhnya. Aku masih tetap tersenyum bersama linangan air mata. Ayahku, ibuku, dan juga desa yang kucintai ini pasti akan amat kurindukan. Di dalam hati aku semakin bertekad, aku harus bisa menggapai cita-citaku dengan baik. Ikhtiar dan do’a, sudah pasti harus selalu kulakukan.
Perjalanan di dalam kereta memang amat membuatku nyaman, menurutku. Apalagi dengan duduk tepat di pinggir jendela. Di pagi hari yang cerah, pemandangan yang indah tentu sudah sangat cukup untuk menyegarkan penglihatan ini. Asri, indah nan permai. Inilah salah satu tanda kekuasaanNya. Sesekali ku beranjak dari tempat dudukku, melangkah menuju pintu kereta. Angin berhembus, menerpa hijab biru mudaku, menggerakkan bibirku hingga akhirnya dapat tersenyum refleks, tanpa sadar. Di depan mataku terlihat sawah yang terhampar luas. Langit biru, bersama para awan dan juga burung yang beterbangan semakin memperindah suasana ini.
“Maaf Mba, bisakah Anda menyingkir dulu dari sini?”, ucap seorang lelaki berbaju merah dengan celana jinsnya yang begitu rapi, ditambah dengan sepatu ala boybandnya berwarna matching dengan kaos merahnya. Aku sedikit ilfeel dengan gayanya saat berbicara itu. Ditambah gaya pakaiannya yang seperti orang kota. Memang tampan, namun raut wajahnya seperti orang yang angkuh. Itulah pemikiranku, sebagai seseorang yang sederhana.
“Kalau ga mau, gimana?”, ucapku sinis.
“Maaf mba, hati-hati kalau berdiri di situ, berbahaya”.
Aku terdiam. Di hatiku terjadi perdebatan. Aku menganggapnya orang kota yang angkuh, namun setelah kulihat ternyata ucapannya terasa lembut. Aku bingung, namun saat itu aku lebih memilih sinis kembali padanya. Orang kota dengan gaya seperti itu pastilah sombong, dan terkadang selalu menyakiti hati orang-orang yang sederhana, apalagi perempuan sepertiku. Bila dia memang berlaku baik padaku, dia pasti memiliki maksud yang tidak baik. Seperti apa yang dikatakan orang-orang di sekitarku, dan juga sesuai dengan pengalaman pribadiku, bahwa laki-laki yang terlihat angkuh namun memiliki wajah yang tampan, pastilah dia selalu menyakiti hati seorang wanita.
Lelaki itu berkata “Maaf mba, berbahaya berdiri di situ, saya hanya memberi tahu. Lagipula....”, aku memotong ucapannya.
“Maaf ya mas, kalau bahaya ya biar saja. Lagipula berbahaya buat saya, bukan buat Mas!” ucapku semakin sinis.
“Tapi mba..”
“Tapi apa? Jangan paksa saya dong!” ucapku dengan lebih sinis lagi.
“Maaf Mba, silakan jika mau tetap berdiri di situ. Tapi...”, ucapannya dipotong lagi olehku.
“Tapi apa?” sentakku. Aku tahu ini tidak baik, tapi aku tetap pada pendirianku yaitu berlaku sinis kepada laki-laki, apalagi yang belum kukenal.
“Mohon maaf sekali Mba, saya mau lewat ke gerbong sebelah. Saya sudah ditunggu oleh teman saya. Sebentar saja Mba, kalau saya sudah lewat, silakan kalau Mba mau berdiri lagi di situ”, ucapnya dengan sopan.
Aku cukup malu sebenarnya. Dia begitu lembut padaku, tapi aku malah menyentaknya. Akupun melangkah menjauhi pintu kereta itu dan kembali ke tempat dudukku. Dia pun melewat.
“Makasih, Mba” ucap lelaki itu sambil tersenyum.
Aku tersenyum kecil. Aku pun melangkah, dalam hati aku masih ingin tetap berdiri di sana. Kutengok ke arah belakangku, kulihat lelaki itu malah berdiri di tempat dimana aku berdiri tadi kemudian tersenyum. Aku sedikit kesal, kemudian akupun menghampirinya.
“Katanya mau lewat, nyatanya kamu malah berdiri di situ!” teriakku padanya.
“Oh, iya maaf Mba. Cuma mau berdiri sebentar, sekarang pun mau ke gerbong sebelah. sekali lagi maaf ya, Mba” ucapnya dengan begitu ramah. Dia pun berjalan meninggalkan gerbong yang ku tempati, menuju gerbong sebelah. Aku terdiam. Aku pun berdiri kembali di pintu kereta sambil melihat pemandangan dari setiap jalan yang kulewati. Akupun dapat tersenyum kembali dengan melihat semua itu.
Dari pagi sampai siang, gerbong yang ku tempati memang penuh. Namun ternyata lama-kelamaan, penumpang satu persatu turun dari kereta. Gerbong mulai kosong, maklumlah memang tujuan yang ku tuju adalah stasiun pemberhentian akhir, jadi aku harus tetap duduk di kereta hingga stasiun akhir, yaitu di Malang. Cukup sepi juga. Aku masih tetap asik melihat pemandangan sambil duduk di kursi dekat jendela kereta. Aku merenung dan terkadang tersenyum sendiri. Kulihat kembali lelaki berkaos merah tadi, duduk di dekat pintu gerbong sambil memegang kamera SLRnya. Dia memotret segala yang ada di sekitarnya, dan dia seperti memotret ke arahku. Rasa suudzon mulai muncul kembali di dalam hatiku, sepertinya dia hendak mengambil fotoku. Bagaimana bisa aku membiarkan seseorang yang tak kukenal mengambil foto wajahku. Aku pun beranjak dari tempatku, dan langsung menghampirinya.
“Kamu mengambil foto-fotoku? Buat apa, kamu orang asing, berani-beraninya mengambil fotoku!” ucapku dengan nada yang cukup tinggi. Dia hanya terdiam. Aku pun merebut SLR di tangannya. Kulihat foto-foto yang tadi dia ambil. Ternyata bukan fotoku, ada beberapa foto yang kulihat dan itu adalah foto-foto pemandangan di sepanjang jalan yang telah dilewati. Seketika itu dia merebut kembali SLRnya dengan wajah yang sinis. Aku amat tak berkutik waktu itu. Dia sepertinya kesal padaku. Aku terdiam, aku merasa amat bersalah.
“Maaf, Mas”, ucapku. Tanpa melihat wajahnya, aku langsung berlari ke tempat dudukku. Aku malu. Mengapa aku harus suudzon kepadanya, ditambah lagi kejadian tadi pagi saat aku menyentaknya. Semakin ku mengingatnya, semakin ku merasa bersalah padanya. Perjalanan masih jauh, aku belum shalat dzuhur. Biarlah, mungkin nanti bisa diqashar. Kereta berhenti di sebuah stasiun, menunggu penumpang yang akan segera masuk. Sesekali pengamen dan juga para pedagang masuk. Seorang anak kecil datang menghampiri penumpang dan memberikan amplop yang bertuliskan sesuatu.
Bapak/Ibu, mohon kasihani kami. Kami belum makan, kami lapar. Mohon minta keikhlasannya. Semoga amalan Bapak/Ibu diterima di sisi Allah, Amin.
Itulah kata-kata yang tertulis di amplop itu. Hati kecil ini merenung, betapa kerasnya kehidupan mereka. Kulihat dompetku, tak begitu banyak uang di sana. Kusisihkan sedikit saja, mungkin dapat membantu mereka. Mereka tidak mungkin berbohong, kalaulah memang mereka berbohong, aku yakin bahwa mereka membutuhkan uang dari orang lain. Sungguh hatiku tersentuh melihat anak kecil itu.
Sesekali aku melihat ke ujung kereta, duduk seorang lelaki berkaos merah tadi. Teringat kembali rasa bersalahku tadi. Aku hanya diam. Walaupun begitu, aku masih tetap saja ingin berdiri di dekat pintu kereta. Akupun berdiri kembali di sana, di dekatku duduk lelaki itu. Namun dia tidak menolehku sedikitpun, dia sepertinya  marah padaku.Aku pun memakluminya bila dia bersikap seperti itu padaku. Handphone ku bergetar, ku kira ada telepon dari ayah atau ibu, ternyata hanya sms dari operator seluler. Aku terdiam kembali, aku lupa tidak mengisi pulsaku, jadi aku hanya bisa menunggu telepon dari orang tuaku.
Aku kembali merenung, melamun. Itulah kebiasaanku di waktu senggang, memikirkan berbagai hal, memberaikan segala fantasi yang ada di benakku. Aku terkejut. Lelaki berkaos merah itu menghampiriku dan langsung membawa handphone yang ku pegang. Dia berlari keluar dari gerbong kereta. Aku refleks mengejarnya keluar. Dia tersenyum. Aku kelelahan, sambil berlari aku berteriak.
“Hey kamu! Kembalikan handphoneku! Mau kau apakan handphoneku. Heyy!”. Dia menoleh, kemudian tersenyum kembali. “Sini saja ambil, kejar dong!”.
“Aku cape! Kamu siapa sih! Tolong jangan ambil hp itu. Aku masih memerlukannya untuk menghubungi keluargaku. Heeeeey!”, teriakku dengan lebih kencangnya lagi.
Dia malah berlari semakin kencang. Apa boleh buat, akupun harus berlari dengan kencang pula. Tapi jangan diremehkan, akupun bisa berlari dengan kencang, maklum juara estapet se-kecamatan pada saat sd. Aku semakin sulit mengejarnya. Aku tak tahu seberapa jauh aku berlari, yang pasti aku harus mendapatkan handphoneku. Di suatu tempat dia berhenti. Aku menghampirinya dengan nafas yang terengah-engah.
“Kok berhenti! Kenapa gak lari lagi aja sih sekalian! Puas kan!” teriakku dengan begitu kerasnya.
“Santai aja, Mba. nih Hpnya”, ucapnya sambil tersenyum.
“Loh, maksud kamu apa sih! Bawa hp saya, terus sekarang dikembalikan lagi. Ga ada kerjaan ya emangnya ......”, ucapanku berhenti. Dia memegang dahuku, dan mengarahkannya ke segala arah di sekitarku. Dia pun tersenyum. Seketika aku berkata, “Subhanallah”.
Tanpa aku sadari, aku telah berlari jauh dengannya hingga tiba di sebuah taman yang penuh dengan bunga. Keadaannya yang amat bersih dan asri membuatku terkesima tanpa batas. Aku tersenyum, terdiam, menengadah ke arah langit biru. Sungguh, inilah salah satu keindahan atas segala kekuasaanNya yang lain. Fatahmorgana alam yang begitu menyejukkan, jutaan warna yang berbeda, hidup membentuk sebuah kesatuan yang begitu luar biasa. Renunganku itu membuatku lupa akan segalanya untuk beberapa saat. Setelah itu aku teringat kembali akan suatu hal.
“Mengapa kau membawaku kemari, Mas?” tanyaku pada lelaki berkaos merah itu.
“Sudahlah, tak usah banyak tanya. Nikmati keindahan dari Sang Pencipta ini”, ucapnya sambil tersenyum.Dia memegangku dan membawaku lari. Dia tertawa, akupun tertawa. Aku tak tahu pasti mengapa aku tertawa, mungkin karena di dalam hati kecilku tumbuh perasaan yang amat membahagiakan. Dia membawaku berlari di sekitar taman, memetik banyak bunga yang berwarna-warni.
“Tunggu, Mas. Saya belum shalat. Bisakah kita shalat dahulu”, ucapku.
“Astagfirullohaladzim, saya pun lupa Mba. Baiklah kita shalat terlebih dahulu. Di sekitar sini ada mesjid”, ucapnya dengan raut wajah yang menyejukan hati.
Kami berjalan, melangkah di jalan yang penuh dengan pohon. Daun beguguran diterpa angin yang bertiup dengan begitu lembutnya. Kesejukan hati ini amat dapat kurasakan. Beberapa menit kami berjalan, kami pun tiba di sebuah mesjid. Subhanallah, mesjid yang megah dan indah. Para jamaahnya pun banyak, ada yang sedang membaca Al Qur’an, ada yang sedang duduk beristirahat, dan masih banyak lagi. Kami pun shalat berjamaah di sana.
Seusai shalat, kami berjalan-jalan kembali. Sesekali kami membeli dagangan yang ada di sekitar taman, seperti es krim, roti bakar, dan yang lainnya. Tempat singgah yang terakhir yaitu di bawah pohon yang amat rindang, di sebuah ayunan sederhana, kami duduk bersama.
“Mengapa kau mengajakku kemari?” tanyaku padanya.
“Tak apa, aku hanya ingin merasakan bisa dekat denganmu saja”, jawabnya.
“Memangnya mengapa? Kau tak mengenalku bukan?”, tanya ku kembali.
“Tentu saja tidak. Tapi saat aku melihat wajahmu, sepertinya ada suatu hal yang kurasakan. Perasaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya”, jelasnya.
“Memangnya perasaan apa? Kamu itu memang aneh ya”, ujarku.
“Ternyata kamu itu bawel ya. Tapi bikin asyik juga” ucapnya tersenyum kembali.
“Maaf ya atas perlakuanku tadi”, ucapku menyesal.
“Sudahlah, tak usah terlalu difikirkan. Tak usah minta maaf, ekspresi wajahmu saat kau kesal padaku bukan membuatku kesal padamu. Aku malah ingin tersenyum sendiri bila mengingatnya”, ujarnya.
“Yah, gausah ngegombal lah. Eh iya, aku hampir lupa. Aku kan sedang dalam perjalanan menuju Malang. Ya Allah, tasku masih di dalam kereta. Pasti kereta telah meninggalkanku sejak tadi! Astagfirullohal’adzim”, ucapku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku pun berlari meninggalkan lelaki itu. Dia memegang tanganku.
“Tak usah terburu-buru. Kamu masih punya waktu sekitar satu jam lagi” ucapnya seakan menghiburku.
“Satu jam lagi? Bagaimana bisa? Kereta pasti sudah berangkat dari tadi!” ucapku dengan nada cukup tinggi.“Memang sudah berangkat” ujarnya malah tersenyum.
“Terus, aku gimana? Ini dimana? Bagaimana aku bisa sampai ke Malang. Ditambah lagi barangku masih ada di kereta. Aku mau ke stasiun sekarang”.
Akupun berlari meninggalkannya. Dia mengejarku, aku berlari lebih kencang lagi sambil menangis. Aku takut, aku takut tak bisa sampai menuju cita-cita yang kutuju. Lelaki berkaos merah itu berhasil mengejarku.
“Mau kemana, Mba?” ucapnya khawatir.
“Tentu aku mau ke stasiun. Aku mau ke Malang. Kamu siapa berani mencegahku? Kamu mau menculikku?” teriakku padanya.
“Ya Allah Mba. Sabarlah dulu”, ucapnya semakin khawatir.
“Maaf Mas. Aku ketakutan”, ucapku kemudian terdiam.
“Tak usah takut Mba. Ada Allah SWT bersama Mba”, ujarnya. Aku terdiam.
 “Jangan khawatir Mba. Barang Mba sudah saya bawa. Pemberangkatan menuju Malang akan dimulai pukul 17.00. Tiket sudah saya pesankan. Nanti saya antarkan ke stasiun. Untuk sekarang izinkan saya menemani Mba sebelum jadwal pemberangkatan dimulai. Saya takut terjadi apa-apa pada Mba”, jelasnya dengan penuh perhatian.
“Benarkah?”, ucapku. Dalam tangisku aku tersenyum. Dia sungguh lelaki yang baik. Aku tak tahu siapa dia, tapi aku bisa merasa nyaman dengannya. Dia hanya mengangguk, setelah itu kami berjalan-jalan kembali ke tempat yang lebih menakjubkan lagi. Hingga akhirnya, jam menunjukan pukul 16.45. Aku harus segera ke stasiun.
“Terima kasih ya Mba atas hari ini”, ucapnya dengan wajah yang berseri-seri.
“Justru aku yang berterima kasih. Maaf telah merepotkanmu”, ucakpku.
Dia tak berkata apapun, hanya tersenyum kecil. Aku berdiri di pintu kereta. Perlahan kereta berjalan. Dia memberikan sehelai amplop, entah berisi apa. Senyumnya melebar. Aku semakin menjauh darinya. Seketika aku lupa menanyakan suatu hal. “Siapa namamu?” teriakku. Dia menjawab, namun tak terdengar olehku. Yang ada hanyalah tersirat senyum manis di bibirnya yang seakan terus mengikutiku saat di dalam kereta kemudian merasuki fikiranku. Aku melangkah menuju kursi dekat jendela kereta. Kubuka amplop yang dia berikan. Isi dari amplop itu adalah foto-fotoku saat berdiri di dekat pintu kereta. Ternyata memang benar, dia mengambil foto-fotoku. Aku tersenyum. Aku bisa merasakannya, merasakan kehangatan tangannya, lembut suaranya, dan senyuman menawan di wajahnya.
Perjalanan ini akan selalu kuingat, perjalanan terindah di dalam hidupku. Sejak saat itu, aku semakin merasakan indahnya hari-hariku. Aku tak tahu dia ada dimana. Yang pasti, untuk saat ini yang harus aku lakukan adalah menggapai cita-citaku. menjadi kebanggaan orang tuaku dan dapat menjadi manfaat bagi orang lain. Aku yakin, suatu saat dia akan datang kembali. Entah kapan, tinggal menunggu waktu yang tepat dari Sang Pencipta. Inilah keyakinan hatiku. Semoga kita dapat bertemu kembali, dengan kisah yang indah dan diridhai olehNya, semoga...


Unsur-unsur Intrinsik
1. Tema  : Cinta / Kasih Sayang
2. Alur   : Maju
Karena peristiwa yang terjadi pada cerpen tersebut berjalan sesuai urutan waktu yang maju tanpa adanya cerita tentang peristiwa dio waktu yang sebelumnya/ yang pernah terjadi sebelumnya.
3. Sudut Pandang : Orang pertama pelaku utama
Karena tokoh yang ada pada cerpen tersebut berperan sebagai “aku” yang merupakan tokoh utamanya.
4. Penokohan :
Adapun tokoh serta wataknya yang terdapat pada cerpen tersebut adalah.
a.  Lily, dengan watak: baik/ solehah, keras kepala, terkadang mudah marah, selalu bersikap suudzon.
Watak tersebut dapat dilihat pada beberapa kutipan cerpen sebagai berikut:
Hari ini hari senin, sudah menjadi amalan andalan kami untuk berpuasa setiap hari senin dan kamis.
Orang kota dengan gaya seperti itu pastilah sombong, dan terkadang selalu menyakiti hati orang-orang yang sederhana, apalagi perempuan sepertiku. Bila dia memang berlaku baik padaku, dia pasti memiliki maksud yang tidak baik. Seperti apa yang dikatakan orang-orang di sekitarku, dan juga sesuai dengan pengalaman pribadiku, bahwa laki-laki yang terlihat angkuh namun memiliki wajah yang tampan, pastilah dia selalu menyakiti hati seorang wanita.
Hati kecil ini merenung, betapa kerasnya kehidupan mereka. Kulihat dompetku, tak begitu banyak uang di sana. Kusisihkan sedikit saja, mungkin dapat membantu mereka. Mereka tidak mungkin berbohong, kalaulah memang mereka berbohong, aku yakin bahwa mereka membutuhkan uang dari orang lain. Sungguh hatiku tersentuh melihat anak kecil itu.
 “Kalau ga mau, gimana?”, ucapku sinis.
“Maaf ya mas, kalau bahaya ya biar saja. Lagipula berbahaya buat saya, bukan buat Mas!” ucapku semakin sinis.
“Tapi mba..”
“Tapi apa? Jangan paksa saya dong!” ucapku dengan lebih sinis lagi.
“Maaf Mba, silakan jika mau tetap berdiri di situ. Tapi...”, ucapannya dipotong lagi olehku.
“Tapi apa?” sentakku. 
b.  Ibu, dengan watak perhatian dan penyayang.
Watak tersebut dapat dilihat dari salah satu kutipan isi cerpen yaitu berupa
dialog:
“Hati-hati ya kalau sudah di sana. Terus hubungi ibu, takut terjadi apa-apa” ucap ibuku, sedikit khawatir.
c.  Ayah, dengan watak lemah lembut dan penyayang.
Watak tersebut dapat dilihat dari salah satu kutipan dialog cerpen yaitu:
“Hati-hati ya Nak. Kalau ada apa-apa hubungi ayah atau ibu. Banyak berdo’a di jalan. Musafir do’anya sangat mustajab. Kabari ayah kalau sudah sampai”. ucap ayahku dengan lembutnya.
d.  Lelaki berbaju merah, dengan watak lemah lembut, penyayang, murah senyum, sopan santun dan romantis.
Watak tersebut dapat dilihat dari beberapa kutipan cerpen sebagai berikut:
“Mohon maaf sekali Mba, saya mau lewat ke gerbong sebelah. Saya sudah ditunggu oleh teman saya. Sebentar saja Mba, kalau saya sudah lewat, silakan kalau Mba mau berdiri lagi di situ”, ucapnya dengan sopan.
“Makasih, Mba” ucap lelaki itu sambil tersenyum.
“Sudahlah, tak usah terlalu difikirkan. Tak usah minta maaf, ekspresi wajahmu saat kau kesal padaku bukan membuatku kesal padamu. Aku malah ingin tersenyum sendiri bila mengingatnya”, ujarnya.
“Tak usah takut Mba. Ada Allah SWT bersama Mba”, ujarnya. Aku terdiam.
“Jangan khawatir Mba. Barang Mba sudah saya bawa. Pemberangkatan menuju Malang akan dimulai pukul 17.00. Tiket sudah saya pesankan. Nanti saya antarkan ke stasiun. Untuk sekarang izinkan saya menemani Mba sebelum jadwal pemberangkatan dimulai. Saya takut terjadi apa-apa pada Mba”, jelasnya dengan penuh perhatian.
5. Latar/ setting         :
a. Tempat     
1.  Di kamar, sesuai dengan kutipan:
Ku terbangun  dan langsung kubuka jendela kamarku.
2.  Di ruang makan, sesuai dengan kutipan:
Aku berjalan menuju ruang makan, kulihat ibu telah menyiapkan makan sahur.
3.  Di stasiun kereta, sesuai dengan kutipan:
Kereta beberapa menit lagi berangkat. Aku berlari dengan kencangnya bersama ayahku, membawa barang yang cukup berat. Tepat di depan pintu kereta aku berdiri.
4.  Di taman bunga, sesuai dengan kutipan:
Tanpa aku sadari, aku telah berlari jauh dengannya hingga tiba di sebuah taman yang penuh dengan bunga.
5.  Di mesjid, sesuai dengan kutipan:
Beberapa menit kami berjalan, kami pun tiba di sebuah mesjid.
6.  Di bawah pohon, sesuai dengan kutipan:
Tempat singgah yang terakhir yaitu di bawah pohon yang amat rindang, di sebuah ayunan sederhana, kami duduk bersama.
b. Waktu
1.  Dini hari, sesuai dengan kutipan:
Mataku sedikit terbuka, pertanda mimpi indah malam ini telah usai. Jam menunjukkan pukul 03.00.
2.  Pagi hari, sesuai dengan kutipan:
Di pagi hari yang cerah, pemandangan yang indah tentu sudah sangat cukup untuk menyegarkan penglihatan ini.
3.  Siang hari, berdasarkan kutipan:
Perjalanan masih jauh, aku belum shalat dzuhur. Biarlah, mungkin nanti bisa diqashar.
4.  Sore hari, berdasarkan kutipan:
Hingga akhirnya, jam menunjukan pukul 16.45. Aku harus segera ke stasiun.
c. Suasana
1.  Sunyi, sesuai dengan kutipan:
Di kesunyian, alarm berbunyi. Teralunkan musik merdu, terdengar bersemangat berjudul Sang Pemimpi.
2.  Nyaman, sesuai dengan kutipan:
Asri, indah nan permai. Inilah salah satu tanda kekuasaanNya. Sesekali ku beranjak dari tempat dudukku, melangkah menuju pintu kereta. Angin berhembus, menerpa hijab biru mudaku, menggerakkan bibirku hingga akhirnya dapat tersenyum refleks, tanpa sadar. Di depan mataku terlihat sawah yang terhampar luas. Langit biru, bersama para awan dan juga burung yang beterbangan semakin memperindah suasana ini.
3.  Indah, menakjubkan, sesuai dengan kutipan:
Aku tersenyum, terdiam, menengadah ke arah langit biru. Sungguh, inilah salah satu keindahan atas segala kekuasaanNya yang lain. Fatahmorgana alam yang begitu menyejukkan, jutaan warna yang berbeda, hidup membentuk sebuah kesatuan yang begitu luar biasa. Renunganku itu membuatku lupa akan segalanya untuk beberapa saat.
4.  Ramai, sesuai dengan kutipan:
Subhanallah, mesjid yang megah dan indah. Para jamaahnya pun banyak, ada yang sedang membaca Al Qur’an, ada yang sedang duduk beristirahat, dan masih banyak lagi.
6. Gaya bahasa : hiperbola
Gaya bahasa yang digunakan kebanyakan berupa gaya bahasa hiperbola, karena terdapat banyak kata yang sekan-akan dilebih-lebihkan agar terasa lebih dari biasanya, contohnya dari beberapa kutipan yaitu
Tanpa aku sadari, aku telah berlari jauh dengannya hingga tiba di sebuah taman yang penuh dengan bunga. Keadaannya yang amat bersih dan asri membuatku terkesima tanpa batas. Aku tersenyum, terdiam, menengadah ke arah langit biru. Sungguh, inilah salah satu keindahan atas segala kekuasaanNya yang lain. Fatahmorgana alam yang begitu menyejukkan, jutaan warna yang berbeda, hidup membentuk sebuah kesatuan yang begitu luar biasa. Renunganku itu membuatku lupa akan segalanya untuk beberapa saat.
7. Amanat     :
*) Jangan berprasangka buruk terlebih dahulu kepada orang lain sebelum kita mengetahui kebenaran yang sebenarnya dari orang tersebut.
Dalam cerita ini diceritakan, Lily merasa bahwa lelaki berkaos merah itu orang yang angkuh akan tetapi setelah dekat dengan laki-laki tersebut, barulah dia merasa bersalah karena prasangka buruknya itu ternyata salah.
**) Jangan mudah marah kepada seseorang.
Diceritakan pada cerpen tersebut bahwa Lily selalu mudah marah kepada lelaki yang ia temui di kereta. Pada akhirnya, kemarahan hanya dapat membuatnya merasa malu dan merasa bersalah.
***) Syukuri segala kekuasaan yang telah diberikan oleh Allah.
Di dalam cerpen tersebut mengingatkan kita akan kekuasaan Allah yang ada di bumi. Kita harus bisa menyukurinya karena kekuasaan itu merupakan suatu keindahan yang dapat kita rasakan secara langsung.
****)Urusan cinta, hanya Allah yang tahu. Kita tidak tahu kapan cinta itu akan datang, namun kita harus percaya bahwa suatu saat Allah akan menunjukan jalanNya yang indah dalam menunjukan cinta itu. Tinggal keyakinan dan kesabaran yang harus dimiliki.
Dalam cerpen tersebut, di akhir cerita tersirat bahwa Lily pada akhirnya harus berpisah dengan sseorang yang dikaguminya. Walaupun begitu, dia yakin bahwa suatu saat cinta itu akan datang kembali. Yang penting, cita-cita dan mimpi-mimpi indah kita harus bisa kita capai.

Unsur-unsur Ekstrinsik
1.  Nilai yang terkandung pada cerpen
v  Nilai sosial
Interaksi atau komunikasi harus bisa dilakukan dengan baik agar tidak ada kesalahfahaman, contohnya yaitu yang diami oleh Lily dan lelaki berkaos merah yang beberapa kali mengalami kesalahfahaman.
v  Nilai agama
Rasa suudzon seharusnya dihilangkan terlebih dahulu bila memang tidak mengetahui kenyataannya. Suudzon ini telah terjadi pada cerpen di atas yaitu dari Lily ke lelaki berkaos merah
v  Nilai moral
Bersikap sopan sudah menjadi salah satu norma yang berlaku di lingkungan yang diceritakan pada cerpen. Salah satu contohnya yaitu berkata dengan lemah lembut dan selalu tersenyum
2. Lingkungan pengarang
Sesuai dengan cerpen yang ditulis pengarang, kemungkinan keadaan lingkungan dari pengarang yaitu kehidupan yang religius, penuh norma dan sopan santun, serta kehidupan yang indah dengan suasananya.
3. Identitas pengarang
Cerpen “Perjalanan Terindah” ini disusun oleh seorang pelajar asal Garut yang bernama Zulfa Fadila. Lahir di Garut tanggal 27 Oktober 1996 dari sepasang orang tua yang bernama Drs. Agus Juanda dan Ika Supartika. Zulfa merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara. Saat ini masih menjalani pendidikan di SMAN 2 Garut semester akhir. Zulfa merupakan alumni dari SMPN 1 Leles, SDN Leles 1 dan TK Pelita.
Zulfa bukan seorang penulis pada umumnya, dia hanya pelajar biasa. Hanya saja menulis sudah mulai menjadi hobinya saat di SMA, namun tidak begitu diperdalam. Zulfa hanya menyalurkan hobinya melalui cerita-cerita pendek yang ditulis pada entri blognya yang berjudul “Sebening Ketulusan Hati”. Dia aktif di beberapa organisasi di SMA namun tidak mempunyai prestasi yang begitu banyak. Harapannya untuk saat ini yaitu bisa melewati masa transisinya di kelas XII SMA, bisa melaksanakan UN dengan sukses, serta bisa diterima di perguruan tinggi negeri favoritnya yaitu di ITB jurusan teknik fisika. Untuk saat ini, dia belum bisa meneruskan posting atau berbagi cerita yang lainnya karena fokus akan tujuan jangka pendeknya saat ini.

Ringkasan Cerita
            Lily, seorang wanita yang solehah serta taat pada kedua orangnya tinggal di sebuah kota yang sederhana.Dia mendapatkan beasiswa untuk meneruskan pendidikannya ke Perguruan tinggi negeri yang ada di Malang. Dia berangkat sendiri ke Malang dengan menggunakan kereta api. Saat di jalan, dia bertemu dengan lelaki berkaos merah yang dia sangka bahwa laki-laki itu adalah lelaki asal kota yang amat angkuh. Sikap sinis dan pemarahnya mulai ia munculkan kepada lelaki itu.
            Namun ternyata lelaki itu tidak seburuk yang difikirkan oleh Lily. Lelaki itu bahkan amat baik, ramah, dan sopan serta perhatian. Saat kereta berhenti, lelaki itu membawa Lily ke berbagai tempat yang indah dan tak disangka. Seharian mereka menghasbiskan waktu bersama. Satu hal yang amat disayangkan, mereka bisa saling dekat namun itu hanya sementara.
            Setiap pertemuan tentu akan ada perpisahan. Mereka berpisah pada sore hari karena Lily harus meneruskan perjalanannya menuju Malang untuk menggapai cita-citanya. Walaupun lelaki berkaos merah itu tidak ia kenal, tapi dia bisa merasakan cinta yang tak biasa. Akhir yang tak begitu indah, mereka saling berpisah dalam keadaan tidak tahu nama masing-masing. Namun Lily yakin bahwa lelaki itu akan datang kembali dengan jalan Allah yang mungkin lebih indah dari perjalanan terindah yang dia lewati hari itu.